Tampilkan postingan dengan label Climate Change. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Climate Change. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Desember 2013

Pertemuan TWGCC (9-12 Desember 2013)

Pada tanggal 9 – 12 Desember 2013, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) menyelenggarakan pertemuan “The Thematic Working Group on Climate Change, Ozone Depletion and Ecosystem Changes of The Regional Forum on Environment And Health In South-East And East Asian Countries (TWGCC)” bertempat di Hotel JW Marriot, Jakarta.

Kegiatan pertemuan TWGCC tersebut bertujuan untuk:
  1. menyampaikan pemutakhiran informasi tentang program da nkegiatan yang sudah dilaksanakan terkait dengan perubahan iklim dan kesehatan;
  2. membahas tentang hasil COP19 yang terkait dengan perubahan iklim dan kesehatan;
  3. melakukan review terhadap rencana kerja TWGCC dan menyusun peta jalan untuk memperkuat kolaborasi regional;
  4. mencari peluang pendanaan utnuk peta jalan yang akan disusun; dan
  5. meningkatkan kegiatan kampanye dan pelatihan bagi negara anggota.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh delegasi (environment and health officers) negara-negara anggota TWGCC, meliputi Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, Indonesia, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Filipina, Republik Korea, Thailand, dan Vietnam; delegasi negara pengamat, meliputi Bangladesh, Bhutan, Kiribati, Nepal, Samoa, Solomon Islands, Timor Leste, dan Vanuatu; duta besar Swiss; pengamat organisasi internasional dan kerjasama bilateral; dan narasumber dari berbagai institusi. Narasumber tersebut antara lain:
  1. Prof. Masahiro Nashizume (Nagasaki University, Jepang);
  2. Prof. Hae-Kwan Cheong (Sungkyunkwan University, Korea);
  3. Dr. Ram Lal Verma (AIT-UNEP Regional Resource Centre for Asia and the Pacific, Thailand);
  4. Dr. Kristie L. Ebi;
  5. Dr. Simon Hales; dan
  6. Prof. Dr. Rizaldi Boer (CCROM, Indonesia).
Kegiatan pada hari pertama diisi dengan presentasi dari negara-negara anggota tentang kondisi perubahan iklim dan upaya yang telah dilakukan dalam melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim yang dihadapi, khususnya terkait dengan bidang lingkungan dan kesehatan. Materi dari narasumber disampaikan secara tersebar dari hari pertama hingga hari ketiga. Pada hari kedua, peserta dari negara anggota maupun negara pengamat melakukan diskusi secara berkelompok tentang fokus prioritas dan tantangan dalam menghadapi perubahan iklim di negara masing-masing. Peserta juga mendiskusikan kebutuhan negara masing-masing terkait dengan adaptasi perubahan iklim untuk sektor kesehatan. Pada hari ketiga, setiap kelompok menyajikan hasil diskusinya untuk saling bertukar informasi. Kegiatan pada hari keempat diisi dengan perumusan rencana kegiatan TWGCC di masa mendatang dan rekomendasi dari pertemuan yang telah dilakukan untuk diinformasikan kepada pemangku kepentingan (pemerintah dan di negara masing-masing.

Berikut adalah rekomendasi dari pertemuan TWGCC pada 9 – 12 Desember 2013 dalam meningkatkan perhatian negara masing-masing terhadap isu perubahan iklim dan dampaknya terhadap kesehatan.
  1. Mengintegrasikan aspek lingkungan dan kesehatan dalam menyusun kebijakan dan program terkait perubahan iklim pada sektor lingkungan dan kesehatan, lalu mengintegrasikannya ke dalam kebijakan, strategi, peraturan, dan strategi adaptasi nasional;
  2. Memberikan dukungan yang diperlukan untuk menjamin implementasi rencana kegiatan TWGCC;
  3. Meningkatkan keterlibatan aspek kesehatan masyarakat dalam proses perubahan iklim pada tingkat nasional, regional, dan internasional dengan cara:
    • mengembangkan strategi adaptasi nasional sektor kesehatan secara komprehensif sesuai dengan prioritas adaptasi jangka menengah dan jangka panjang
    • mempromosikan aspek kesehatan dan melaporkan keuntungan tambahan dari kebijakan dan tindakan mitigasi yang dilakukan pada tingkat nasional kepada UNFCCC;
    • mengajukan kepada UNFCCC untuk mempertimbangkan rekomendasi pertemuan ini dan memasukkannya ke dalam laporan UNFCCC kepada anggota sesuai dengan permintaan anggota pada CoP19 terkait masukan tambahan pada sektor kesehatan di bawah Nairobi Work Programme untuk adaptasi perubahan iklim;
    • meminta representasi dari ahli kesehatan terkait dengan mekanisme dukungan teknis kepada UNFCCC, termasuk Least Developed Countries Expert Group (LEG), untuk melibatkan ahli kesehatan masyarakat yang dimiliki oleh masing-masing anggota;
    • mengajukan kepada Green Climate Fund (GEF) untuk mempertimbangkan kemungkinan pembukaan aliran dana spesifik untuk adaptasi sektor kesehatan;
    • mengajukan kepada focal point dari GEF politis dan operasional di negara masing-masing untuk merekomendasikan GEF dalam menjamin memadainya pembahasan isu kesehatan dalam komunikasi nasional;
  4. Menggalakkan dan meningkatkan kepedulian terhadap hasil temuan WHO Synthesis Report on Climate Change and Health in the West-Pacific Region dan juga laporan dan penelitian terkait lainnya di wilayah Asia Pasifik, khususnya di negara-negara anggota RFEH;
  5. Mengupayakan pencapaian tujuan RFEH terkait penguatan dalam pengaturan kelembagaan dan kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kesehatan di tingkat nasional, pembentukan atau penguatan lembaga-lembaga bidang kesehatan dan lingkungan, meningkatkan pertukaran pengalaman dan pembelajaran di antara negara-negara anggota, termasuk dalam meningkatkan kajian dampak kesehatan dan lingkungan sebagai instrumen dalam mempertimbangkan dampak kesehatan dari seluruh kebijakan dan program adaptasi dan mitigasi;
  6. Membangun atau memperkuat sistem surveillance kesehatan dan lingkungan sehingga memungkinkan pengukuran dampak kesehatan dan lingkungan yang saling terhubung satu sama lain, serta untuk mengidentifikasi risiko yang mungkin muncul;
  7. Mengevaluasi keuntungan kebijakan mitigasi untuk sektor kesehatan, termasuk keuntungan tambahan yang dapat dicapai dengan cara mengurangi pencemaran udara bersamaan dengan mengurangi emisi gas rumah kaca;
  8. Di samping memperbaiki pelayanan kesehatan, negara anggota juga perlu meningkatkan ketahanan kesehatan dan berkontribusi dalam menghijaukan pelayanan kesehatan dan fasilitasnya denggan cara memperbaiki akses energi dan efisiensi energi, air dan sanitasi, dan manajemen limbah di sektor kesehatan;
  9. Mengembangkan atau memperbarui kerangka kerja operasional pada skala nasional, sub-regional, dan regional dalam membangun sistem kesehatan yang tahan terhadap perubahan iklim sehingga dampak kesehatan dari variabilitas dan perubahan iklim dapat ditangani dengan lebih baik, dan untuk menjamin bahwa sistem kesehatan mampu mengantisipasi, merespon, menangani, memulihkan diri, dan beradaptasi terhadap shock dan stres terkait iklim, termasuk juga dalam menciptakan perbaikan yang berkelanjutan untuk kesehatan masyarakat terlepas dari kondisi iklim yang tidak stabil;
  10. Memberikan dukungan terhadap penguasaan pengetahuan dan manajemen di bidang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sektor kesehatan, khususnya melalui peningkatan kajian aplikatif di tingkat lokal, sub-regional, dan regional, bersamaan dengan menjamin koordinasi publikasi scientific dan teknis untuk mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan dan prioritas penelitian, serta untuk mendukung pendidikan dan pelatihan pada berbagai level;
  11. Mengajukan kepada kelompok kerja perubahan iklim ASEAN untuk mempertimbangkan dampak kesehatan dari perubahan iklim dan menyelenggarakan pertemuan untuk membahas topik tersebut, termasuk perwakilan dari sektor-sektor yang dapat mempengaruhi kesehatan (antara lain pangan dan pertanian, air, energi, perumahan, dan perencanaan tata kota).
Dari pertemuan TWGCC juga diperoleh rekomendasi untuk WHO, UNEP, dan partner pembangunan lainnya, antara lain sebagai berikut.
  1. Membantu negara-negara anggota RFEH dan negara lainnya di Asia Pasifik untuk berbagi pengalaman, mengembangkan kapasitas, dan membangun mekanisme pemantauan dalam proses memenuhi komitmen yang dibuat pada pertemuan ini, melalui peer review, dalam rangka memberikan masukan kepada UNFCCC dan mengembangkan agenda pasca-2015;
  2. Mendukung implementasi rekomendasi ini, dan meningkatkan upaya advokasi dalam mobilisasi sumber daya dan memperoleh investasi tambahan untuk memperkuat strategi bidang kesehatan dan lingkungan;
  3. Memberikan dukungan teknis dalam penentuan komponen kesehatan dari rencana adaptasi nasional sehingga dapat tersusun rencana yang komprehensif dan dapat mengakomodasi prioritas adaptasi jangka menengah dan jangka panjang, antara lain melalui penerapan kerangka kerja operasional untuk membangun sistem kesehatan yang tahan terhadap iklim, workshop regional, dan penyediaan dukunngan dana tambahan sehingga rencana adaptasi nasional di bidang kesehatan dapat disusun dengan melibatkan juga pemangku kepentingan terkait di tingkat nasional;
  4. Memfasilitasi akses terhadap pendanaan yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan rencana adaptasi nasional bidang kesehatan (Health National Adaptation Plans; H-NAPs) melalui pembuatan repository online dari seluruh H-NAPs dan dokumen teknis terkait di tingkat nasional (contohnya Synthesis Report on Climate Change and Health in the West-Pacific dan penelitian terkait lainnya di wilayah Asia Tenggara).
Tempat pelaksanaan pertemuan TWGCC berikutnya masih dirundingkan oleh negara-negara anggota. Pertemuan tersebut kemungkinan akan dilaksanakan pada tahun 2015.


Kamis, 19 Desember 2013

Turun Salju di Kairo Dampak dari Perubahan Iklim.

Pemanasan global telah membuat penyimpangan iklim yang mulai dirasakan manusia. Kejadian aneh pun terjadi di Kairo. Pasalnya pada 13 Desember lalu, Kairo diselimuti saju akibat badai salju yang terjadi di Timur Tengah.

Cuaca aneh tersebut terjadi karena rendahnya curah hujan, dan suhu musim dingin yang selalu berada di atas titik beku. Salju merupakan suatu fenomena yang sangat tidak umum di Kairo. Kota ini sebenarnya pernah mengalami kejadian serupa pada satu abad yang lalu.

“Ini adalah yang pertama sejak bertahun lamanya,” ungkap Pejabat pusat Meteorlogi Kairo, Ali Abdelazim bahkan sangat terkejut dengan peristiwa tersebut.

Dilansir dari Huffington Post, ternyata tak semua penduduk Mesir senang dan gembira melihat salju yang tak pernah mereka temui sebelumnya. Pasalnya sejumlah pengungsi Suriah diwilayah tersebut harus berhadapan dengan udara yang sangat dingin, tetapi mereka hanya memiliki peralatan yang minim.

Kejadian langka ini ternyata tidak hanya terjadi di Mesir, kejadian ini juga pernah terjadi di Israel. Di tahun 1953 ketika cuaca dan badai ekstrim menghantam Israel, negara ini di terpa salju. Tetapi salju tersebut bukan membawa kegembiraan malah menyebabkan warga Israel harus mengungsi dan meninggalkan rumahnya.

Sumber: Yahoo.com

Jumat, 19 Juli 2013

Lokakarya "Pengembangan Metode dan Instrumen Penelitian Kerentanan Perubahan Iklim" di Provinsi Bali

Kegiatan Lokakarya I berjudul "Pengembangan Metode dan Instrumen Penelitian Kerentanan Perubahan Iklim" di Provinsi Bali diselenggarakan pada tanggal 4-5 Juli 2013 bertempat di Grand Istana Rama Hotel. Acara tersebut dihadiri oleh BBTKL Surabaya, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, perwakilan dari tiga stasiun BMKG, staf Dinas Kesehatan di tingkat kabupaten/kota, dan peserta dari Puskesmas.

Kegiatan lokakarya pada hari pertama diisi dengan presentasi dari Dinas Kesehatan, Badan Pusat Statistik, dan stasiun BMKG untuk membahas kondisi fisik wilayah, sosial demografi, infrastruktur, kesehatan, dan vektor penyakit dari Provinsi Bali. Stasiun BMKG yang berpartisipasi dalam acara lokakarya meliputi Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar, Bali; Stasiun Meteorologi Kelas I Ngurah Rai, Kab. Badung; dan Stasiun Klimatologi Kelas II Negara, Kab. Jembrana.

Sementara itu, sama seperti lokakarya yang diselenggarakan di Provinsi Sumatera Barat dan DKI Jakarta sebelumnya, lokakarya pada hari kedua diisi dengan kegiatan pemetaan oleh masing-masing perwakilan Puskesmas mengenai kasus penderita DBD dan Malaria serta diskusi mengenai data kesehatan. Sesi pemetaan dilakukan dengan cara penitikan kasus DBD dan Malaria sesuai dengan alamat penderita pada peta yang telah disediakan oleh panitia.

Berikut adalah dokumentasi kegiatan Lokakarya I di Provinsi Bali.

Kegiatan Lokakarya I Pengembangan Metoda dan Instrumen Riset Kerentanan Perubahan Iklim yang dibuka oleh Kabid PP & PL Dinkes Provinsi Bali, dr. Gede Wira Sunetra, MPPM di Grand Istana Rama Hotel, Kuta.

Presentasi metode dan instrumen rencana pengumpulan data kesehatan disampaikan oleh tim peneliti, drg. Sri Tjahjani BU, M.Kes.

Presentasi metode dan instrumen rencana pengumpulan data spasial disampaikan oleh tim peneliti, Bambang Marhaendra, S.Si, ME.

Kegiatan Lokakarya I membahas strategi workshop di 3 kab/kota dan pengembangan instrumen pengumpulan data kasus DBD, malaria, demografi, dan perubahan Iklim dihadiri oleh peserta dari Dinkes Provinsi Bali, Dinkes Kota Denpasar, Dinkes Kabupaten Badung, dan Dinkes Kabupaten Jembrana.

Presentasi data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Indra Susilo, BP. Sp., MM, mengenai jumlah penduduk, kepadatan penduduk, tingkatan pendidikan, usia penduduk, jenis pekerjaan, jenis kelamin, dan kesejahteraan.

Presentasi data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Wayan Nurja, SKM mengenai sarana dan prasarana kesehatan, trend kasus DBD/malaria, dan data API Bali.

Presentasi data 30 tahun dari Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar, Stasiun Meteorologi Kelas I Ngurah Rai Badung, dan Stasiun Klimatologi Kelas II Negara Jembrana masing-masing oleh I Nyoman Gede Wiryajaya, STP, I, Desindra Deddy Kurniawan, SP, dan Wakodim, SP.

Dok.: tim RCCC-UI

Kamis, 18 Juli 2013

Lokakarya “Input dan Analisis Data Kasus DBD, Malaria, dan Perubahan Iklim” di Prov. Sumatera Barat

Pada tanggal 21-22 Juni 2013, tim Proyek “Kajian Kerentanan Kesehatan Akibat Perubahan Iklim: Penilaian, Pemetaan, dan Adaptasi Berbasis Masyarakat pada Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Malaria” menyelenggarakan kegiatan lokakarya “Input dan Analisis Data Kasus DBD, Malaria, dan Perubahan Iklim” di The Axana Hotel, Padang, Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan lokakarya ini (selanjutnya disebut sebagai Lokakarya II) merupakan kelanjutan dari kegiatan Lokakarya I. Peserta kegiatan Lokakarya II memiliki lingkup yang lebih kecil dari kegiatan Lokakarya I, meliputi Kabid PP dan Bencana Dinkes Provinsi Sumatera Barat dan perwakilan Dinas Kesehatan di tingkat kabupaten/kota, tepatnya dari Bidang Surveillance dan Penyehatan Lingkungan. Kabupaten/kota yang berpartisipasi dalam acara ini, antara lain Kota Padang, Kab. Padang Pariaman, Kota Padang Panjang, dan Kota Bukittinggi.

Penyelenggaraan kegiatan Lokakarya II bertujuan untuk meningkatkan kapasitas peserta lokakarya, khususnya di tingkat kabupaten/kota, dalam hal pengolahan dan analisis data DBD dan Malaria di Provinsi Sumatera Barat. Melalui kegiatan ini, peserta juga diharapkan memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan hasil analisis tersebut untuk menentukan daerah prioritas dan menyusun program yang akan dilakukan di kabupaten/kota masing-masing.

Kegiatan Lokakarya II berisi tutorial dan pelatihan manajemen dan analisis data menggunakan data kesehatan dan spasial lokal. Data spasial diperoleh dari hasil Lokakarya 1 yang membahas tentang metode dan proses pengumpulan data yang akurat dan sensitif dalam melakukan pemetaan kerentanan wilayah dan penduduk dari risiko DBD dan Malaria. Metode yang digunakan pada pengolahan data kesehatan, yaitu dengan sistem data sheet yang diolah dengan program statistik sederhana.

Acara lokakarya pada hari pertama diisi dengan presentasi modul manajemen data kesehatan dan data spasial oleh tim pusat. Setelah presentasi, peserta diminta langsung mempraktekkan isi modul dengan dipandu oleh tim pusat. Setelah peserta memahami langkah-langkah pengolahan data, peserta kemudian diharuskan melanjutkan analisis data berdasarkan kabupaten/kota masing-masing. Hasil diskusi tersebut dipersiapkan untuk presentasi pada acara lokakarya hari kedua.

Lokakarya hari kedua diawali dengan lanjutan diskusi dan persiapan presentasi hasil pengolahan data. Masing-masing kelompok kabupaten/kota selanjutnya mempresentasikan hasil diskusi mereka di hadapan tim pusat dan peserta lainnya. Sesi presentasi juga diselingi dengan diskusi dan tanya jawab mengenai interpretasi data.

Kegiatan Lokakarya II Input dan Analisis Data Kasus DBD, Malaria, dan Perubahan Iklim yang dibuka oleh Kabid PP & Bencana Dinkes Provinsi Sumatera Barat, DR. dr. Irene, MKM di The Axana Hotel, Padang.

Presentasi teknik pengolahan data kesehatan berupa data kasus DBD, malaria, dan curah hujan dilakukan oleh tim peneliti. Model yang digunakan untuk presentasi dan praktikum pengolahan data merupakan data DBD, Malaria, dan Curah Hujan tahun 2010 Kota Padang.

Kegiatan Lokakarya II berupa praktik pengolahan data kasus DBD, malaria, dan perubahan Iklim dilakukan oleh peserta dari Dinkes Provinsi Sumatera Barat, Dinkes Kabupaten Padang Pariaman, Dinkes Kota Padang, Dinkes Kota Bukittinggi, dan Dinkes Kota Padang Panjang.

Presentasi teknik pengolahan data spasial berupa persebaran kasus DBD dan Malaria, berikut kerentanan wilayah terhadap penyakit tersebut di Provinsi Sumatera Barat. Model yang digunakan dalam presentasi merupakan data kasus DBD, Malaria, dan perubahan iklim kota Padang, Sumatera Barat.

Presentasi dan sesi tanya jawab hasil pengolahan data kasus DBD, Malaria, dan Perubahan Iklim yang dilakukan tim dari Dinkes Kota Padang Panjang

Presentasi dan sesi tanya jawab hasil pengolahan data kasus DBD, Malaria, dan Perubahan Iklim yang dilakukan tim dari Dinkes Kota Bukittinggi

Presentasi dan sesi tanya jawab hasil pengolahan data kasus DBD, Malaria, dan Perubahan Iklim yang dilakukan tim dari Dinkes Kabupaten Padang Pariaman

Presentasi dan sesi tanya jawab hasil pengolahan data kasus DBD, Malaria, dan Perubahan Iklim yang dilakukan tim dari Dinkes Kota Padang

Dok.: tim RCCC-UI

Rabu, 03 Juli 2013

Lokakarya "Pengembangan Metode dan Instrumen Penelitian Kerentanan Perubahan Iklim" di Prov. DKI Jakarta

Kegiatan Lokakarya I di Provinsi DKI Jakarta telah dilaksanakan pada 11–12 Juni 2013 di Hotel Novotel. Secara keseluruhan, pihak yang menghadiri kegiatan ini meliputi tim RCCC-UI, perwakilan tim Kementerian Kesehatan, staf Puskesmas, staf Bagian Penyehatan Lingkungan dan Surveilans di Dinas Kesehatan, dan narasumber dari Dinas Kesehatan Provinsi dan BMKG.

Kegiatan hari pertama diisi dengan presentasi dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan FGD dengan enumerator mengenai wilayah genangan, sumber air, pekerjaan, mobilitas, modifikasi dan aksi lingkungan. Selama FGD, fasilitator memandu tiap pertanyaan dalam kuisioner sehingga para enumerator dapat memberikan jawaban secara tepat.

Sementara itu, kegiatan lokakarya pada hari kedua diisi dengan kegiatan presentasi dari BMKG pusat maupun stasiun BMKG (Cengkareng dan Kemayoran) mengenai kondisi iklim di sekitar wilayah Jakarta. Selanjutnya, acara diisi dengan kegiatan pemetaan kasus DBD dan Malaria oleh masing-masing perwakilan Puskesmas.







Dok.: tim RCCC-UI

Selasa, 18 Juni 2013

Lokakarya "Pengembangan Metode dan Instrumen Penelitian Kerentanan Perubahan Iklim" di Prov. Sumatera Barat

Lokakarya I berjudul "Pengembangan Metode dan Instrumen Penelitian kerentanan Perubahan Iklim" di Padang, Provinsi Sumatera Barat, telah diselenggarakan di Hotel HW pada tanggal 17-18 Mei 2013. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada para peserta lokakarya mengenai metode dan proses pengumpulan data yang akurat dan sensitif dalam melakukan pemetaan kerentanan wilayah dan penduduk dari risiko DBD dan Malaria.

Pada hari pertama, kegiatan diisi dengan presentasi dari Bappeda Provinsi Sumatera Barat, Dinas Kependudukan Provinsi Sumatera Barat, Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat dan dan stasiun BMKG di empat kabupaten/kota (Stasiun Sicincin, Meteorologi Tabing, Geofisika Padang Panjang, dan GAW Kototabang) mengenai kondisi fisik wilayah, sosial demografi, infrastruktur, kesehatan, dan vektor penyakit.

Kegiatan lokakarya pada hari kedua diisi dengan kegiatan pemetaan oleh masing-masing wakil Puskesmas mengenai kasus DBD dan Malaria di wilayahnya masing-masing, serta diskusi mengenai data kesehatan. Variabel-variabel yang didiskusikan tersebut meliputi wilayah genangan, sumber air, pekerjaan, mobilitas, modifikasi dan aksi lingkungan.

Berikut adalah beberapa dokumentasi kegiatan lokakarya tersebut.

Sambutan oleh Dr. Budi Haryanto (Tim Riset RCCC UI), Dr. Irrene, MKM (Perwakilan Dinkes Prov. Sumbar) dan acara dibuka oleh drh. Wilfried H. Purba, MM, M.Kes (Direktur P2PL Kemenkes RI)
Pemaparan materi oleh tim peneliti Universitas Indonesia. Bambang Marhaendra, S.Si, ME (Data Spasial) dan Dr. Ratu Ayu Dewi Sartika, Apt, M.Sc (Data Kesehatan)
Presentasi narasumber mengenai data demografi dan kependudukan oleh Bapak Dasran 
(Pencatatan Sipil Pemerintah Daerah Sumatera Barat)
Presentasi narasumber mengenai data iklim oleh Bapak Herizal 
(Stasiun GAW Kota Bukittinggi)
Presentasi narasumber mengenai data kesehatan oleh Dr. Irrene, MKM 
(Dinkes Prov. Sumatera Barat)
Presentasi narasumber mengenai data iklim oleh Bapak Budi Iman 
(Stasiun Meteorologi Tabing Padang)
Suasana pemetaan kasus DBD dan Malaria pada kegiatan lokakarya hari kedua (1)
Suasana pemetaan kasus DBD dan Malaria pada kegiatan lokakarya hari kedua (2)

Dok.: tim RCCC-UI

Senin, 06 Mei 2013

Perubahan Iklim Yang Berdampak Pada Penyakit DBD dan Malaria


Pemanasan global saat ini menjadi salah satu masalah yang penting bagi dunia, karena dampak yang ditimbulkannya sangat berpengaruh dalam segala macam bidang, apalagi dalam hal kesehatan.

Kondisi Perubahan iklim yang sangat tidak menentu menyebabkan makin berkembangnya berbagai macam penyakit, apalagi curah hujan yang tinggi saat ini sangat berpotensi bagi penyakit seperti Demam Berdarah Dengue dan Malaria menyebar di masyarakat.

Melihat fenomena ini, Kementerian Kesehatan RI yang bekerja sama dengan Research Center for Climate Change, Univeritas Indonesia (RCCC-UI) dan didukung oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) menjalankan Proyek “Kajian Kerentanan Kesehatan Akibat Perubahan Iklim: Penilaian, Pemetaan dan Adaptasi Berbasis Masyarakat Pada Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Malaria” guna meningkatkan kesiapsiagaan terhadap kecenderungan peningkatan kasus penyakit DBD dan Malaria.

"Kondisi iklim yang mulai berubah sangat berpengaruh terhadap perkembangan vektor penyebab penyakit di suatu daerah. Hal ini akan diperkuat dengan melemahnya daya tahan tubuh manusia," ungkap Prof. dr. Tjandara Yoga Aditama, Sp(K), MARS, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI.


Hal ini disampaikan beliau pada saat acara peresmian Kick Off Meeting proyek Kajian Kerentanan Kesehatan Akibat Perubahan Iklim: Penilaian, Pemetaan dan Adaptasi Berbasis Masyarakat Pada Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Malaria” guna meningkatkan kesiapsiagaan terhadap kecenderungan peningkatan kasus penyakit DBD dan Malaria, di Hotel Nalendra, Jakarta  Timur, Rabu 27 Maret 2013.

Kegiatan ini juga dihadiri oleh Direktur Lingkungan Hidup Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), serta perwakilan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, Sekretariat ICCTF, UNDP, dan Universitas Indonesia.

Tjandra mengungkapkan, dari kajian ini diharapkan dapat diperoleh model proyeksi perubahan iklim terkait insiden penyakit DBD dan Malaria berikut peta distribusi wilayah rentan di 21 kabupaten/kota di Indonesia.

Ke-21 kabupaten/kota tersebut tersebar di Provinsi Sumatera Barat (Kota Padang, Kabupaten Padang, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Padang Panjang), Provnsi DKI Jakarta (Jakarta Pusat dan Jakarta Utara), Provinsi Banten (Kota Tanggerang dan Kabupaten Tanggerang), Provinsi Jawa Timur (Kota Surabaya, Kota Malang, Kabupaten Malang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Banyuwangi), Provinsi Bali (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Karang Asem), dan Provinsi Kalimantan Tengah (Kota Palangkaraya, Kabupaten Muara Teweh, Kabupaten Kotawaringin Barat, dan Kabupaten Kotawaringin Timur).


Dok.: PMU Proyek ICCTF - Kemenkes

Selasa, 23 April 2013

Kadar CO2 Meningkat, Ukuran Kepiting Jadi Raksasa



Tim peneliti dari University of North Carolina (UNC) Aquarium Research Center mengungkapkan, meningkatnya kadar karbon dioksida di udara dan lautan menyebabkan ukuran kepiting menjadi lebih besar.

Para peneliti menemukan bahwa pemanasan global menyebabkan tingkat karbon dioksida atau gas rumah kaca meningkat di lapisan atmosfer. Akibatnya, kepiting menjadi lebih besar, lebih kuat, dan lebih cepat, seperti dilansir The Christian Science Monitor, 15 April 2013.

Ini tentu menjadi kabar buruk bagi para pecinta seafood, terutama penggila kerang. Secara rantai ekosistem, meningkatnya ukuran kepiting membuatnya menjadi lebih rakus dengan memangsa kerang lebih banyak.

"Tingginya tingkat karbon dioksida di lautan menyebabkan pertumbuhan kerang tiram menjadi lebih lamban. Sementara kepiting biru yang merupakan predator kerang tiram tumbuh empat kali lebih cepat," kata Justin Baker Ries, ahli geologi kelautan di University of North Carolina, AS.

"Kerang tiram adalah makanan favorit kepiting besar, mereka akan lebih gesit, memangsa kerang dalam waktu singkat," jelas Ries.

Dalam percobaan yang dilakukan oleh tim peneliti, kepiting besar dan kerang tiram disatukan dalam tempat berlumpur. Hasilnya, kepiting memiliki selera makan yang tak terpuaskan.

"Kepiting tampak agresif memotong cangkang kerang tiram, mencabik-cabik, dan segera memakan dagingnya. Ini seperti menonton seekor singa sedang memangsa domba," kata Ries.

Penelitian yang sudah diterbitkan di Jurnal Geology ini juga menemukan, bahwa meningkatnya ukuran kepiting menyebabkan jumlah daging yang tumbuh di dalam cangkangnya menjadi lebih sedikit.

Bagi penggila kerang tiram, bersiap-siaplah kekurangan pasokan kerang di restoran-restoran seafood. Sementara bagi penggemar kepiting, tidak lama lagi Anda tidak bisa menikmati daging tebal di balik cangkang kepiting.

Sumber: Vivanews

Jumat, 12 April 2013

Terjadinya Perubahan Iklim di Dunia


Sekilas Tentang Perubahan Iklim

Meningkatnya pemanasan: Sebelas dari dua belas tahun terakhir merupakan tahun-tahun terhangat dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama lima tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0.74°C selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan.

Efek rumah kaca (a) alami dan (b) yang telah diperkuat oleh emisi antropogenik.
Warna merah menunjukkan tingkat konsentrasi gas rumah kaca (sumber: Elder, 2013)

Penyebab Perubahan Iklim

Perubahan iklim global terjadi karena atmosfer bumi dipenuhi oleh gas rumah kaca (GRK), (Karbon Dioksida dan Metana) yang dihasilkan oleh manusia. Gas Karbon Dioksida terjadi akibat proses pembakaran bahan bakar fosil dengan tujuan untuk menghasilkan energi dan juga hutan. Sementara gas metana terjadi akibat aktivitas pembuangan sampah. GRK memiliki kemampuan untuk menangkap sinar infra merah dari matahari yang direfleksikan oleh bumi. Karena itu semakin besar jumlah GRK didalam atmosfer bumi maka bumi pun akan semakin panas.

Peningkatan temperatur akan berdampak pada:
  • Meluasnya pencairan es di kutub utara
  • Meningkatnya suhu air laut, yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut
  • Musim kering akan semakin kering dan musim penghujan akan lebih basah
  • Meningkatnya curah hujan dan kondisi banjir

Referensi

  • Elder, Will. 2013. What is Climate Change? Diambil dari National Park Service Website, diakses pada 20 Februari 2013 (url: http://www.nps.gov/goga/naturescience/climate-change-causes.htm)